Cerita Mister : Istriku Korban Pesugihan Buto Ijo

Istriku Korban Pesugihan Buto Ijo

Istriku Korban Pesugihan Buto Ijo | Astaga! Mata Karjo membelalak. Ia tak percaya pada penglihatannya. Di atas ranjang itu Warsih menggeliat sambil mulutnya mendesah layaknya perempuan yang sedang dilanda berahi. Tetapi tak berlangsung lama, sesaat kemudian Warsih menggelepar seperti ayam disembelih, mengejang dan kaku.

Sudah banyak cerita tentang pesugihan, persekutuan antara manusia dengan makhluk gaib untuk memperoleh harta kekayaan dengan cara tidak wajar. Meskipun nyata-nyata kalau ini adalah perbuatan sesat, namun tetap ada saja orang yang mau melakukannya. lni adalah cerita tentang seorang pelaku pesugihan yang penulis peroleh dari seorang teman, sebut saja Rahmat, yang secara diam-diam mengamati prilaku tetangganya.

Menurutnya, tetangganya itu melakukan persekutuan dengan makhluk gaib, Buto Ijo. Meskipun makhluk tersebut tergolong gaib, tetapi ada beberapa orang pintar yang dengan kasat mata dapat melihat bentuk fisik makhluk yang satu ini. Menurut mereka Buto ijo itu memiliki postur tubuh yang tinggi besar mirip raksasa. Kulitnya hijau, licin seperti lumut. Matanya merah dan besar serta giginya bertaring. Meskipun wujudnya menyeramkan, namun ada saja orang yang memuja dan memanfaatkannya untuk mendapatkan harta kekayaan. Karena makhluk ini dipercaya dapat memberi harta kekayaan bagi pelakunya.

Nah, salah satu orang yang nekad memanfaatkan makhluk satu ini adalah tetangganya Rahmat itu. Sebut saja namanya Karjo. Karjo bukannya tidak tahu kalau perbuatannya itu adalah sesat dan mengandung resiko. Tetapi mau apa lagi? Dalam keputusasaannya menjalani kehidupan sehari-hari Karjo tidak menemukan jalan keluar bagaimana caranya untuk memperoleh rezeki lebih, selain melakukan pesugihan demi kelangsungan hidupnya yang memang senantiasa didera kemiskinan.

Sebenarnya Warsih, istrinya, tidak setuju dengan jalan yang ditempuh oleh suaminya itu. warsih selama ini cukup nerimo dengan segala rezeki yang diberikan oleh Tuhan pada keluarganya. Baginya sudah bisa makan setiap hari saja sudah cukup. Dan masih beruntung karena kedua anak lelakinya masih mau membantu mencari uang tambahan untuk membiayai sekolahnya sendiri. Parno yang duduk di kelas 2 SMP sebelum berangkat sekolah ikut membantu tetangganya, Lek Giman yang berjualan lontong sayur di pasar kaget. Sedangkan Tarman yang duduk di kelas 5 SD pagi-pagi sudah berada di perempatan lampu merah Antasri menjajakan koran. Sedang suaminya sehari-hari bekerja sebagai kuli pemecah batu di lereng Bukit Camang.

"Ini perbuatan sesat, Pakne!" Ucap Warsih saat mengetahui dari mana asal segepok uang yang diserahkan suaminya malam itu. Tiga malam Karjo menghilang, saat pulang dia menyerahkan segepok uang pada istrinya. Ketika warsih menanyakan dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu, mulanya Karjo berbohong. Tetapi setelah didesak terus, akhirnya dia mengaku.

"Sudahlah Bune, aku melakukannya karena terpaksa. Aku sudah bosan dengan penderitaan yang kita alami selama ini. Uang. itu bukan untuk foya-fota, tetapi untuk kita pergunakan menyambung hidup kita, supaya kita bisa dipandang orang" jawab Karjo.

"Tetapi resikonya kan berat, Pak!" sergah Warsih. Karjo sejenak terdiam. Dia memang tahu benar kalau perbuatannya itu mengandung resiko, karena kelak dia harus menyediakan imbalan berupa tumbal nyawa manusia!

"Terserah padamu wahai manusia. Keluargamu sendiri aku tidak perduli. Pokoknya yang penting dia itu perempuan. Ingat, setiap saat aku memintanya kau harus menyediakannya!" Kata Buto ijo ketika Karjo selesai melakukan ritual

Di bawah sebatang pohon beringin tua yang usianya mungkin sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Konon Karjo nekad melakukannya karena rayuan seseorang yang pernah melakukan hal serupa.

"Pokoknya dijamin berhasil Kar. Dari pada jadi kere seumur hidup mendingan kita mengabdi pada si Buto Ijo itu. Kita akan cepat jadi orang kaya dan tentu saja hidup enak, tanpa harus banting tulang capek- capek jadi pemecah batu!" Kata orang yang mengantar Karjo ke tempat di mana sang Buto Ijo bermukim. Sekarang semuanya sudah terlanjur. Tak ada pilihan bagi Warsih selain menerima uang yang diberikan oleh suaminya itu. Apalagi selama ini Warsih belum pernah menerima uang sebanyak itu. Setiap hari paling dia cuma menerima dua atau tiga lembar uang puluhan ribu dari suaminya itu.

Uang tersebut dipergunakan Warsih untuk membuka warung tegal. Anehnya, meskipun tempat dia berjualan kurang strategis, tetapi baru saja beberapa hari berjualan pengunjungnya sudah banyak. Ada yang sengaja makan di sana dan juga ada yang sengaja membeli dibungkus untuk dibawa pulang. Tak heran, kalau dalam waktu singkat warung bu Warsih sudah berubah permanen. Karjo sengaja membeli tanah dan membangunnya. Saking ramainya, kini bu Warsih mempekerjakan seorang gadis dari kampungnya untuk

Saking ramainya, kini bu Warsih mempekerjakan seorang gadis dari kampungnya untuk membantunya.

Adalah Markasan seorang pengangguran kini memperoleh kerjaan tanpa harus melamar. Dia jadi tukang parkir liar di depan warung bu Warsih. Setiap hari dia mangkal di depan warung bu Warsih mengatur kendaraan yang keluar masuk. Tetapi ada satu hal yang membuat dirinya merasa heran karena setiap bulan pada hari Jum'at ketiga warung bu Warsih selalu tutup. Sebenarnya dia ingin bertanya pada bu Warsih, tetapi dia merasa segan, karena dia merasa bukan haknya untuk mencampuri urusan orang lain.

Akan halnya Karjo dan istrinya pada setiap hari Jum'at ketiga setiap bulan sengaja menutup warungnya karena melakukan ritual rutin, yaitu menemui Sang Buto Ijo. Kedua suami istri itu seperti biasanya membawa sajenan berupa ayam bekakak dan satu baskom besar ketan hitam dan ketan putih yang sudah dimasak, kembang tujuh warna, kemenyan arab dan tak lupa air minumnya berupa wedang jahe. Tetapi tak biasanya Buto Ijo yang selama ini selalu gembira menyambut Karjo, kali ini marah sekali karena ternyata sajenan yang diberikan itu tidak sesuai dengan janjinya.

"Hei, manusia dua orang pengikutku sudah memberi aku tumbal berupa gadis muda, tetapi kau sendiri belum pernah. saat ini birahiku sedang naik. Jadi aku butuh tumbal darimu berupa gadis muda he...he... he!"

Mendengar permintaan itu kontan saja Karjo dan istrinya saling pandang. Mereka tahu kalau tak ada cara lain selain harus menuruti permintaan itu. Tetapi siapa yang harus dikorbankan? Karena kedua anak mereka lelaki semua.

"Bukankah sejak dulu aku tidak setuju dengan pekerjaan ini, Pak. Percuma kita kaya kalau harus mengorbankan nyawa orang lain. Si Turah itu kan orang lain. Selama ini dia bekerja sangat rajin sekali. Aku tidak tega kalau dia harus Jadi korban. Lantas apa yang harus kita katakan pada orang tuanya di kampung nanti?" Tanya bu Warsih pada suaminya saat mereka pulang.

"Sudahlah bu. Kau tenang saja kalau soal itu serahkan saja padaku biar aku yang mengatur!" Jawab Karjo. Singkat cerita, akhirnya, Turah, pembantunya, dikorbankan oleh Karjo sebagai tumbal. Kematian Turah yang mendadak dan Misterius itu sempat membuat gempar penduduk desa Tanjungsari. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi atas diri Turah yang malang itu. Karena selama ini keluarga Turah sering menerima sms dari Turah yang isinya mengatakan bahwa di kota dia sehat- sehat saja. Konon Turah menghilang dari rumah Karjo selama 5 hari, lalu ditemukan sudah menjadi mayat di sebuah sumur tua yang tak jauh dari rumah Karjo.

Sebenarnya keluarga Turah tidak terima dengan kejadian ini dan berniat akan menuntut Karjo. Tetapi Karjo jauh-jauh hari sudah menyiapkan senjata pamungkas, yaitu memberi keluarga Turah segepok uang tunai serta menanggung biaya dari mulai penguburan, tahlilan sampai pada selamatan 100 harinya. Cara ini ternyata ampuh. Bagi kedua orangtua Turah yang lugu dan polos itu, kebaikkan dan perhatian yang diberikan Karjo mereka terima dengan senang hati. Menurut mereka kematian Turah mungkin sudah takdir. Karena itu mereka harus legowo. Apalagi keluarga Turah memang termasuk keluarga yang miskin.

Ya, Karjo telah berhasil dengan tipu muslihatnya menipu keluarga Turah. Dengan demikian dia merasa aman karena perbuatan jahatnya tidak sampai terbongkar. Tetapi tidaklah demikian halnya dengan Warsih. Sejak peristiwa kematian Turah dirinya selalu resah. Dia selalu dikejar rasa bersalah yang teramat besar. Dia khawatir kalau perbuatan suaminya itu sampai terbongkar dan diketahui oleh keluarga Turah di kampung. Apa lagi akhir-akhir ini Warsih sering bermimpi didatangi Turah dan menanyakan apa salah dan dosanya hingga dia dijadikan korban oleh kedua majikannya itu. Karena sudah tak tahan, malam itu Warsih menuntut suaminya.

"Pakne, pokoknya ini harus dihentikan! Aku tidak mau kalau nanti sampai jatuh korban lagi. Buat apa kita hidup di atas penderitaan orang lain!" Tuntut Warsih. Tentunya Karjo jadi kaget sekali mendengar ucapan istrinya itu. Mana mungkin aku berhenti, ucapnya dalam hati. Tentu saja dia tidak rela kalau harta yang sudah dimilikinya selama ini akan hilang, dan dia akan kembali jadi kere dan kembali bekerja sebagai buruh pemecah batu.

"Jadi maksud Bune supaya kita kembali jadi miskin?" Jawab Karjo kesal.
"Ya, tidak apa~apa miskin. Bagiku lebih baik hidup miskin tapi tenteram dari pada kaya tetapi harus mengorbankan nyawa orang lain. Aku takut bagaimana nanti kalau rahasiamu itu terbongkar. Lantas bagaimana nasib kedua anak kita? Mereka pasti menderita akibat ulahmu!" Kata Warsih tak kalah jengkelnya.

Karjo terdiam. Timbul rasa jengahnya mendengar kata-kata yang diucapkan oleh istrinya itu. Kini terjadi pergulatan batin di diri Karjo. Dia benar-benar bingung menentukan pilihan. Ucapan Warsih benar! Batinnya. Nelangsa. Tetapi di sisi lain dia tidak mau kehilangan harta kekayaannya!

Akhirnya Karjo menampik semua tuntutan istrinya itu. Dia tidak mau kembali hidup miskin. Gelimang materi dan hidup enak yang dirasakannya, membuat dirinya terus melakukan perbuatan sesat, bersekutu dengan Buto ljo. Dan nikmat dunia semakin membuatnya terlena hingga lupa kalau sudah saatnya dia harus kembali menyerahkan tumbal berikutnya. Jangankan memberikan tumbal nyawa manusia, bahkan untuk mengantarkan sajenan rutin setiap malam Jum'at ketiga sudah dilupakannya. Hal ini tentu saja membuat makhluk peliharaannya itu jadi marah!

Malam itu menjelang subuh Karjo baru pulang dari tempat hiburan malam yang belakangan ini sering dikunjunginya. Karjo sengaja membawa kunci sendiri supaya tidak mengganggu penghuni lainnya yang sedang tidur, kalau dia pulang larut malam. saat sampai di depan pintu kamar istrinya, Karjo tiba-tiba menghentikan langkahnya karena telinganya mendengar suara aneh di dalam kamar Warsih. Dia mendengar seperti ada suara desahan dan suara ranjang yang berderak-derak. Terdorong rasa ingin tahunya, perlahan Karjo mendorong pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci.

Dan... Astaga! Mata Karjo membelalak. Dia seakan tidak percaya pada penglihatannya. Di atas ranjang yang bergoyang dilihatnya Warsih menggeliat- geliat sambil mulutnya mendesah-desah layaknya perempuan yang sedang dilanda kenikmatan berahi. Tetapi adegan itu tidak berlangsung lama, sesaat kemudian Warsih menggelepar seperti ayam dipotong kemudian tubuhnya mengejang kaku!

Karjo kontan menjerit histeris memeluk istrinya. Dia mencoba membangunkan istrinya seraya mengguncang tubuh Warsih berulangkali. Tetapi Warsih sama sekali tak bergerak, tubuhnya dingin dan kaku. Lagi-lagi Karjo berteriak histeris meminta tolong. Kedua anaknya yang tidur di kamar sebelah dan seorang pembantunya segera berhamburan ke kamar Karjo.

Subuh yang hening itu berubah jadi ramai. Satu persatu tetangga Karjo berdatangan untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya setelah menyaksikan kejadian itu, sikap mereka ternyata berbeda-beda. Ada yang menanggapi kejadian itu dengan mengucap istighfar. Ada yang cuma memandang iba. Tetapi ada yang malah memaki.

"Rasain, itulah akibatnya kalau orang melakukan pesugihan. Sekarang istrinya yangjadi korban!" Maki Markasan, tukang parkir yang dulu pernah naksir Turah.

Pembaca, sampai di sini cerita yang dituturkan oleh teman penulis. Dia tidak mau menceritakan bagaimana nasib selanjutnya keluarga Karjo, tetangganya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar